Selasa, 27 September 2011

Pemerintah Sedang Mempermainkan Hati Rakyat Yogyakarta



Bergabungnya kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman ke dalam NKRI sebagaimana amanat 5 September 1945 dan Piagam penepatan yang diberikan Presiden Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1945 dengan tegas menetapkan Ingkang Siniwun Kanjeng Sultan Kalifatullah Ingkang Kaping IX dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam Ingkang Kaping VIII pada kedudukannya, dengan kepercayaan bahwa keduanya akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan DIY. Dalam konstitusi kita pasal 18b ayat (1) dan Undang-Undang Pemerintahan (Di) Daerah mulai dari UU Nomor 1 Tahun 1945 sampai UU Nomor 32 Tahun 2004, memberikan mandat pengaturan bagi daerah khusus ataupun yang bersifat istimewa.

Walaupun telah mempunyai landasan hukum yang sangat kuat, sayangnya sampai sekarang “keistimewaan” DIY belum diatur kedalam UU. Hal yang demikian dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah seringkali menimbulkan permasalahan dan inkonsistensi dalam implementasinya. Oleh karenanya tulisan ini mencoba mereview dari sisi yuridis maupun demokrasi budaya yang telah berkembang selama ini di Yogyakarta.

A. Keistimewaan DIY Dalam Bingkai Yuridis

Sejak dikeluarkannya amanat tertanggal 30 Oktober 1945, dalam prakteknya Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman telah dipersatukan dan menjelma menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta selanjutnya sudah mulai digunakan dan akhirnya dilegalisasi oleh UU Nomor 3 Tahun 1950 yang dikeluarkan berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1948.

Secara Yuridis Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Dalam pasal 18 b ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen disebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Demikian halnya Undang-Undang organik yang mengatur Pemerintahan (Di) Daerah mulai dari UU Nomor 1 Tahun 1945 sampai dengan UU Nomor 32 tahun 2004 secar jelas memberikan ruang secara khusus bagi pengaturan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Adapun dinamika UU Pemerintahan (Di) Daerah dapat kita lihat sebagai berikut :

Pertama : UU Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah tidak secara jelas mengatur keistimewaan DIY. Dalam surat pengantar RUU diterangkan bahwa ketika merundingkan RUU BP Pusat tidak mempunyai gambaran yang jelas. Namun sekiranya pemerintah menganggap perlu, daerah tersebut dapat diatur secara berlainan.

Kedua : dalam UU Nomor 22 Tahun 1948 dinyatakan dalam pasal 18 ayat (5) bahwa kepala daerah itu di jaman sebelum Republik Indonesia dan masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat-istiadat di daerah itu. Sedangkan ayat (6) menyatakan untuk Daerah Istimewa dapat diangkat seorang wakil Kepala Daerah oleh presiden dengan mengingat syarat-syarat dalam ayat (5).

Ketiga : UU Nomor 1 Tahun 1957 dalam pasal 25 pada ayat (1) mengatakan bahwa Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajuakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari keturunan yang berkuasa didaerah itu dijaman sebelum Republik Indonesia dan masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan masih mengingat adat istiadat di daerah itu dan diangkat diberhentikan oleh :
a. Presiden bagi Daerah Istimewa Tingkat I
b. Menteri Dalam Negeri atau Penguasa yang ditunjuk olehnya bagi Daerah Istimewa Tingkat II dan III.

Selanjutnya pada ayat (2) menyebutkan bahwa untuk Daerah Istimewa dapat diangkat dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah seorang wakil Kepala Daerah Istimewa yang diangkat dan diberhentikan oleh Penguasa yang mengangkat/memberhentikan Kepala Daerah Istimewa, dengan memperlihatkan syarat-syarat tersebut.

Keempat : Penpres Nomor 6 Tahun 1959 pasal 6 ayat (1) mengatakan bahwa Kepala Daerah diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan di daerah itu dijaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih berkuasa menjalankan pemerintahan didaerahnya dengan memperlihatkan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan, pada Pemerintah Republik Indonesia serta adat istiadat dalam daerah itu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

Kelima : UU Nomor 18 Tahun 1965 pasal 88 huruf c disebutkan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang, pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5).

Keenam : Dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 pada pasal 91 huruf b disebutkan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Undang-Undang ini dengan sebutan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya.

Ketujuh : UU Nomor 22 Tahun 1999 pada pasal 122 mengatakan bahwa Keistimewaan untuk Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimagsud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Propinsi Istimewa Aceh dan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada Undang-Undang ini.

Kedelapan : UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 226 ayat (3) Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada Undang-Undang ini.

Dengan merunut pada pendekatan yuridis mulai dari konstitusi kita sampai dengan UU organik yang ada yaitu : UU Nomor 1 Tahun 1945, sampai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 dapat ditarik benang merah tentang keberadaan dan kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai berikut : (1) sejak semula DIY telah memperoleh status istimewa dengan mendasarkan pada hak asal-usul, yang dijaman sebelum Republik Indonesia lahir telah mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa; (2) Isi keistimewaan terletak pada pengangkatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Adipati Paku Alaman; (3) Pengisian kepala daerah tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan seperti yang dilakukan didaerah lain; dan (4) untuk penyelenggaraan pemerintah pada umumnya mengikuti UU yang sedang berjalan.

B. Demokrasi prosedural atau substantif ?

Berbicara demokrasi pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan membicarakan dimensi humanitas atau kebudayaan, karena pada hakekatnya demokrasi dapat dipandang sebagai salah satu dimensi dari hasil kreativitas manusia yang berkebudayaan dan berkeadaban (Prof. DR. Djoko Suryo). Secara historis dan kultural inti demokrasi pada dasarnya secara telah dikenal dalam lingkungan kebudayaan dan peradaban awal, tidak hanya di lingkungan peradaban Yunani kuno yang mengenal bentuk pemerintahan dan kemasyarakatan yang dikenal sebagai republik kecil, dimana kata demokrasi dilahirkan namun juga dibelahan nusantara. Secara etimologis demos berarti rakyat, dan craten berarti memerintah, sehingga secara harafiah demokrasi diartikan sebagai memerintah sesuai dengan kehendak rakyat.

Menurut Lincoln demokrasi merupakan gagasan yang mengandaikan bahwa kekuasaan itu adalah dari, oleh dan untuk rakyat (of the people, by the people, and for the people). Dalam perkembangannya kemudian demokrasi dapat dibedakan antara yang radikal dan moderat (demokrasi langsung dan tidak langsung). Demokrasi langsung diartikan sebagai pengambilan keputusan-keputusan yang tidak dilakukan melalui badan-badan perwakilan rakyat, tetapi oleh seluruh rakyat secara langsung. Hal semacam itu masih mungkin pada masyarakat yang jumlahnya terbatas, kecil, homogen, dimana segala hubungan kehidupan bersama masih mungkin untuk selalu dipecahkan atau diputuskan secara bersama (contoh : dulu di athena atau landsgemeinde yang berlaku di swiss). Dalam keadaan semangkin meluas dan berkembang, maka yang ditempuh melalui perwakilan (demokrasi tidak langsung). Sehingga dizaman modern seperti sekarang ini sistem demokrasi yang dianut (dipraktekkan) penerapannya dilapangan berbeda-beda.

Oleh karenanya konsepsi demokrasi dari waktu ke waktu mengalami perubahan seperti welfare democracy, people’s domocracy, social democracy, participatory democracy dan sebagainya. Puncak perkembangan gagasan demokrasi yang paling di idealkan di zaman modern sekarang ini adalah demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitusional democracy). Dalam perspektif ini, demokrasi terwujud secara formal dalam mekanisme kelembagaan dan mekanisme pengambilan keputusan kenegaraan. Sedangkan secara subtansial, gagasan demokrasi memuat nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar yang terwujud dalam perilaku budaya masyarakat setempat. Oleh karenanya dalam gagasan demokrasi mengandung dua aspak, yaitu institusi dan tradisi historis. Perwujudan demokrasi di satu pihak memerlukan perlembagaan, tetapi di pihak lain memerlukan tradisi historis yang sesuai untuk mendukungnya (Prof. Dr. Paulus Effendie Lotulung).

Ada pergeseran pengertian bahwa demokrasi itu selalu dikaitkan dengan proses formal berupa pemilihan secara langsung, sehingga diasumsikan kalau tidak dipilih secara langsung (direct) maka dianggap tidak demokratis. Pendapat demikian sesungguhnya tidak sepenuhnya benar (rechts verfijning) dengan melihat pada substansi demokrasi itu sendiri, tidak sekedar formalistis procedural dari bentuk luarnya belaka, melainkan harus dilihat pula aspek subtantif lainnya, yaitu aspek historis dan tradisi budaya masyarakat dimana demokrasi itu diterapkan.

Dalam kerangka tersebut diatas demokrasi adalah sistem pemerintahan yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dimensi prosedural dari demokrasi adalah pemugutan suara dan pengambilan keputusan berdasarkan mufakat atau suara terbanyak. Sedangkan dimensi subtansial dari demokrasi itu sendiri adalah lahirnya kebijakan yang memihak pada kepentingan rakyat, menguntungkan rakyat, dan memberi harapan bagi perbaikan kualitas hidup rakyat dari waktu ke waktu.

Secara hakiki legitimasi sebuah pemerintahan dalam sistem demokrasi tidak terbatas pada pemilihan pemimpinnya saja, melainkan juga pada penerimaan rakyat atas kepemimpinan yang ada. Kata kuncinya adalah penerimaan rakyat (kehendak rakyat). Aspek penerimaaan atau consent lebih penting dari formalitas pilihan yang justru menghasilkan pemimpin yang berpotensi memikirkan dirinya sendiri. Apalagi karena substansi demokrasi justru terletak pada kebijakan-kebijakan yang lahir dari proses kepemimpinan pemerintahan itu.

Bersamaan dengan adanya penerimaan rakyat atas kepemimpinan yang ada, iklim demokrasi juga terpelihara dengan baik melalui kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi, kebebasan mewujudkan kesejahteraan melalui kegiatan sosial dan ekonomi, adanya penegakan hukum yang adil dan konsisten, tidak terjadi diskriminasi politik, ekonomi, etnik, agama dan rasia dalam masyarakat, kehadiran partai politik dan lembaga legislatif yang berfungsi secara baik, dan tersedianya ruang kreativitas bagi masyarakat untuk menampilkan karya mereka kepada publik tanpa hambatan dari pemerintahan dan/atau aparatur kekuasaan yang ada. Kalau semua kondisi tersebut telah hadir, pertanyaanya apakah eksistensi demokrasi di suatu daerah akan terganggu hanya karena tidak ada formalitas pemilihan kepala daerah?

Sebagai pembanding tentang dikemungkinkanya perlakuan khusus tersebut dapat dilihat struktur pemerintahan daerah Khusus Ibukota Jakarta. Dengan pertimbangan bahwa kota Jakarta adalah suatu kesatuan administrasi, maka dibawah gubernur tidak ada daerah otonom. Walikota di Jakarta tidak dipilih oleh rakyat, tetapi ditunjuk oleh gubernur. Di Pemerintahan DKI jakarta juga tidak didampingi oleh DPRD Kota, kondisi ini sudah berjalan sejak awal kemerdekaan sampai saat ini, pertanyaannya apakah hal ini demikian kemudian dianggap tidak demokratis? Padahal format ini juga berbeda dengan apa yang berlaku di Provinsi lainnya di indonesia. Demikian juga dengan pemberlakuan otonomi khusus di Aceh dan Papua berbeda dengan daerah lain, pertanyaanya kenpa DIY yang secara yuridis, filosofis sosiologis dan historis telah berjalan secara baik justru akan di rekonstruksi?

Matroji Dian Swara